Selasa, 16 Agustus 2016

Anakmu itu Benar Anakmu..

Saat menulis judul ini, teringat judul sinetron Indonesia yang suka aneh-aneh.. :)
tetapi kali ini diambil dari penggalan syair  dari Khalil Gibran
Penyair Khalil Gibran mengatakan;
"Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu.... Mereka adalah anak-anak kehidupan..."

Saya bukan termasuk orang yang dalam untuk mentafsirkan sebuah karya seni, tetapi pada saat ini syair tersebut begitu bermakna. Walaupun saya belum menjadi orangtua, dan sangaat ingin menjadi orangtua yang memiliki banyak anak (*curcol ^_^), setidaknya tulisan ini dapat menjadi referensi bagi para orangtua. Karena banyak hal yang saya pelajari sebagai praktisi pendidikan.

Pada sisi konteks sebagai orangtua tidak sepantasnya "mencetak" anak seperti membuat keramik, seakan anak menjadi alat dari kemauan kita.. Mereka perlu peluang untuk menjadi kreatif.

Berapa banyak orangtua yang menginginkan anak mereka berprestasi secara akademik, unggul diantara yang lain dan dapat dibanggakan. Tetapi saat sang anak memiliki nilai yang "rendah" tak berprestasi, maka langkah yang harus diambil adalah tambahkan les, waktu belajar ditambah dan tindakan sejenis.. hmm

Atau untuk para orangtua yang sibuk bekerja, maka langkah yang tepat masukan ke sekolah yang bagus (*biasanya mahal) atau asrama. Selesai sudah.! Wajar sebenarnya wacana "full day" school ini muncul.. jadi sekolah dapat menjadi solusi untuk mengatasi waktu luang anak daripada main yang "tidak jelas"..

Setiap Sekolah seakan berkompetisi memberikan sistem pendidikan yang paling ok, dari nasional maupun Internasional. Tidak ada yang salah dengan itu, hanya saja oreintasinya tetap pada sesuatu yang menghasilkan prestasi... 
Seakan terlupa bahwa setiap anak terlahir unik, mereka memiliki potensinya masing-masing dan tidak harus berupa akademik. 

Terlepas dari itu semua, ada yang hilang dari anak-anak tersebut, yaitu moralitas.
Karena saya berpendapat persoalan moralitas betul-betul hanya bergantung pada pendidikan keluarga di rumah. Lingkungan sosial saat ini makin menurun perhatian dan kontrolnya. Duluu siswa-siswi "berpacaran" masih sembunyi-sembunyi., Duluuuu..., betapa takutnya seorang siswa jika memprotes guru.. tetapi sekarang?? yaa karena memang nilai budaya, etika lingkungan bersifat sangat relatif...

Hanya agama lah yang tetap konsisten mempertahankan nilai-nilainya. Itulah mengapa moralitas/akhlak bergantung kepada orangtua, bukan dimulai dari pendidikan sekolah. Bahkan saat kita memilih pasangan pun, menentukan kemana kelak sang anak mengarah. 

Karena dalam konteks akhlak, anak-anak kita benar adalah anak kita. Mereka amanat Allah. Kita dianugerahi anak karena kita dipercaya oleh Allah untuk sanggup mendidiknya. Kesanggupan itu kita terapkan dari detik ke detik., orangtua tidak harus menjadi petugas, tetapi juga tidak menjadi longgar. Kita mengerti kapan "mengulur tali" kapan menariknya.

Betapa pentingnya pendidikan ruhani dan akhlak sejak masa kecil, itulah mengapa seorang ibu hamil pun sudah dapat mendidik anaknya melalui perilakunya saat sang anak masih dalam kandungan. Sebab, hanya itulah benteng keselamatan anak-anak kita pada masa dewasa.

Kita "berikan" anak kita kepada kehidupan yang luas di luar rumah agar ia belajar dewasa dan matang. Tapi jangan kita berikan anak kita kepada kedidupan di luar rumah yang kita sendiri tak sanggup mempertanggungjawabkannya. 

Anak-anak kita benarlah anak kita. Kita cintai mereka dengan cara memperhatikan seluruh aspek kehidupannya. Kita cintai mereka dengan cara mempersiapkan mereka menjadi manusia yang pantas untuk menghadap Allah..

Semoga Allah mengaruniakan kita anak-anak yang menjadi penolong bagi kita dan kehidupan. Amien




Tidak ada komentar:

Posting Komentar