Rabu, 09 Oktober 2013

Kehadiran selalu efektif...??

Heboh pro dan kontra mobil murah sudah sedikit melemah saat ini, mungkin beberapa bulan lagi kita akan mengalami macet yang makin parah lagi, akankah benar 2014 Jakarta bisa stuck...??

Saya termasuk orang yang optimis, yakin warga Jakarta tidak akan membiarkan itu terjadi, begitu juga pimpinannya. Saat ini kita bisa lihat bagaimana gubernur berupaya merelokasi beberapa pasar dan permukimam, tindakan positif walaupun tidak mudah. Selain relokasi, perbaikan transportasi umum pun sedikit demi sedikit dilakukan. Proses yang dilakukan ini memakan waktu tidak cepat tentunya, semboyan jawa "alon alon asal kelakon" ini yang sedang kita tunggu. Tetapi pernahkah kita berfikir dengan cara yang berbeda untuk menangani macet jakarta selain segi fisiknya....?? Misalnya jadwal pekerjaan, umumnya perusahaan di Jakarta atau daerah lain memiliki waktu yang sama jam masuk 08.00 - 09.00 sedangkan jam pulang 16.00 - 17.00 pada hari senin-jumat. Macet parahnya jakarta ya terjadi pada jam masuk dan pulang kantor. Sebenarnya saya berterimakasih kepada para pegawai negri sipil yang selalu datang dan pulang lebih dulu, jadi mengurangi kemacetan jg... hehehe. Bagaimana kalau hal ini yang kita rubah??

Bukankah tidak semua jenis pekerjaan yang mengharuskan kita melakukan kerja di kantor atau betatap muka..??
Bukankah konseptor, programmer, analis, bahkan administrator lebih banyak bekerja fokus di komputer..?? dan
Bukankah teknologi sekarang sudah cukup canggih, kita dapat memanfaatkan email untuk tukar informasi dan data. Kita pun bisa video call untuk berkoordinasi...??
Mengapa kita harus tetap dalam formulasi yang lama, bahwa bekerja harus absen dan hadir di jam yang telah ditentukan.?
Mengapa teknologi ini tidak kita manfaatkan secara maksimal...??
Bahkan mayoritas perusahaan absen adalah salah satu tolak ukur dalan bekerja.

Usia mayoritas karyawan sudah sebaiknya beralih pada analis job, bukan sekedar kehadiran, banyak tentunya kita dapati para karyawan yang menunggu waktu pulang saja yang terasa sangat lama ketika pekerjaannya sudah selesai. Kita juga bisa dapati para karyawan yang sibuk bekerja, tetapi pekerjaan itu sebenarnya tidak efektif.

Jika Perusahaan menetapkan untuk sebagian karyawan tidak mewajibkan kehadiran yang sama dengan yang lain dan memberlakukan analisis job terhadap pekerjaan setiap karyawan, tentu akan banyak karyawan yang tidak perlu pergi berjamaah dalam waktu yang sama menuju ke kantor dan pulang, karena pekerjaannya bisa diselesaikan di rumah atau tempat lain. Juga memaksimalkan kecanggihan teknologi yang ada saat ini dan dapat menikatkan kreatifitas, salah satu penghambat kreatifitas adalah kerutinitasan :)


Senin, 27 Mei 2013

Gaya Bahasa

Bima, sosok pahlawan superhero yang akan ditayangkan dalam stasiun TV swasta ketika saya tidak sengaja melihat cuplikan iklannya. Terlepas bagaimana nanti film itu dikemas, saya langsung teringat sosok Bima dalam wayang Indonesia. Bima termasuk tokoh yang unik, sebagai salah satu Pandawa, ialah yang cenderung urakan, tetapi hanya Bima yang dapat menemui Tuhan (Dewa Ruci) bukan Ajuna, Yudhistira atau tokoh Pandawa lainnya yang dikenal lebih religius dari Bima.

Bima adalah Pandawa yang menarik buat saya terutama dia dikenal merakyat dalam hal penggunaan gaya bahasa, Bima selalu menggunakan bahasa ngoko ketika berbicara dengan rakyat bahkan kepada kakaknya Yudhistira. Ngoko adalah tingkatan bahasa jawa yang digunakan untuk level sederajat, krama madya level diatas sedikit lebih tinggi, dan krama inggil level tertinggi dalam bahasa Jawa. Biasanya jika berbicara dengan yang lebih tinggi tingkatannya seperti Bima ke Yudhistira minimal menggunakan krama madya, tetapi ini tidak dilakukan. Bima hanya berbicara dengan krama inggil ketika bertemu dengan Tuhan (Dewa Ruci), Bima mengangap bahwa gaya bahasa level tertinggilah yang pantas digunakan hanya untuk Tuhan. Prabu Kresna kangen dengan Bima karena suka mencemoohnya. Hal ini lah sisi keunikan Bima yang cukup menarik..

Gaya bahasa yang digunakan Bima, membuatnya merasa bahwa dirinya adalah sama dengan rakyat walaupun Bima masuk dalam Pandawa, Bima juga menganggap seluruh Pandawa juga sama derajatnya tak ada yang lebih tinggi. karena itu Bima dikenal urakan. Dalam gaya bahasa kita saat ini juga memiliki tingkatan tersendiri, bagaimana kita berbicara dengan menggunakan menyesuaikan gaya bahasa ditentukan dengan level siapa kita berbicara. Sebenarnya tidak ada masalahnya ada berbagai gaya bahasa dan tingkatan-tingkatan, toh memang diperlukan juga. Tetapi ketika gaya bahasa tersebut digunakan sebagai simbol kemunafikan barulah menjadi masalah....

Senin, 18 Maret 2013

Indonesia itu Ramah...

Sewaktu saya masuk lift di kantor yang saat itu ada 1 orang asing dan 1 orang pribumi, ketika itu saya ber2 dengan teman yang kebetulan membawa es cendol duren, tentunya aroma khas duren itu tercium. Saya berucap "smell not good", tanpa sadar si bule itu senyum dan berkata "not me..??".. kami langsung tertawa sambil saya jawab "no, absolutely not"... 
Kejadian kecil ini mengingatkan saya akan keramahtamahan warga Indonesia yang mulai sirna terutama diarea perkotaan, bahkan saya lebih sering berbincang dengan warga asing yang duduk disamping ketika di pesawat, suasana menjadi lebih hangat, ketimbang saya berada disamping pribumi.. 
Kemanakah keramahan warga Indonesia ini yang dari dulu terkenal dengan keramahtamahannya dibandingkan dengan negara lain, selain keindahan alamnya... Saya juga merasakan itu, betapa ramahnya masyarakat Indonesia ini., tapi hal itu tidak berlangsung sampai saat ini, lebih tepatnya keramahan itu mulai memudar.

Berada di pusat kota, di dunia perkantiran yang lebih mengarah ke bisnis saya mulai merasakan pudarnya keramahan masyarakat Indonesia, miris. Sulit sekali mendapatkan senyum yang tulus, bahkan satu perusahaan pun ketika bertemu di jalan belum tentu senyum itu merekah. Garing atau hambar, itulah yang saya rasakan, hanya dengan tim dan sepekerjaan saja dapat menyatu. Memang tidak semuanya seperti itu, tetapi tetap saja ada jarak yang membuat kita tidak luwes.

Awalnya saya berasumsi mungkin hanya sedikit saja yang seperti ini, mulai lah saya sharing dengan teman-teman sekolah dan kuliah saya. Yup, bukan hanya kantor saya. fenomena itu biasa terjadi dan memang sudah hal biasa. Jujur saya kaget, kenapa bisa begini..? dan dikatakan wajar.
Bersyukurnya saya tidak selalu bekerja di pusat kota dan masih suka mendapatkan tugas ke daerah-daerah di Indonesia, yang masih saya dapat temukan keramahtamahan itu karena memang watak asli Indonesia ya ramah, maka kita akan menemukan warga yang tetap ramah di daerah ketimbang kota..

Kenapa warga kota tidak seramah warga daerah, memang perlu penelitian mendalam untuk mengetahuinya. Kita tidak perlu mengetahui hal itu secara dalam, tetapi kita hanya perlu menjadi ramah saja... Ramah itu menyenangkan dan disukai siapa saja serta bagian dari Budaya Indonesia....