Jumat, 02 Maret 2018

CANDU MEDIA SOSIAL

Hampir satu tahun sudah saya tidak produktif menulis lagi, bahkan kuantitas bacaan pun jauh berkurang.. Ini disebabkan saya yang tak pandai mengendalikan diri dalam menggunakan media sosial.., terutama aplikasi dan fiturnya yang terus berkembang sehingga seakan candu untuk dinikmati.

Kemajuan teknologi digital telah memberi kita banyak kemudahan dan kenyamanan, dengan hanya beberapa sentuhan di smartphone kita dapat melakukan banyak hal dari mulai bersosialisasi hingga bertransaksi tanpa beranjak dr tempat.
Oleh karena itu, bagi banyak orang tentu teknologi dan media sosial menguntungkan.

Tapi benarkah hal ini membuat kita bahagia dan manusiawi..?

Derasnya informasi dalam genggaman membuat kita makin berpengetahuan dan bijak dalam bersikap dan bertindak..?

Dengan waktu luang yg disediakan oleh kemudahan membuat kita makin berkualitas sehingga hidup kita lebih bermakna.?

Tidakkah pertanyaan ini pernah terlintas di benak kita..?
Yang jelas, teknologi dan media sosial telah merubah kita. Setidaknya ada anggaran tertentu untuk ini. Mulai dari layanan internet hingga kualitas smartphone..
Mungkin anggaran yang dikeluarkan tidak sebesar kerugian kita akibat dampak negatif nya yaitu “kecanduan
Dengan adannya layanan wifi dan powerbank semakin dapat memenuhi rasa kecanduan tersebut..

Hal inilah yang membuat kecanduan smartphone bukan tanpa sengaja tetapi “by design”. Seperti aplikasi yang banyak digunakan yaitu; game, belanja online dan media sosial. Perusahaan-perusahaan ini rela mengeluarkan dana yg besar untuk meriset perilaku konsumen. Mereka berusaha untuk mengikat konsumen agar sesering mungkin mengakses aplikasi mereka.. Kecanduan lah yang menjadi hasilnya.

Banyak orang teralihkan perhatian mereka seketika. Waktu luang lebih banyak yang dibebaskan oleh kemudahan teknologi dihabiskan untuk perhatian-perhatian yang kurang berkualitas, bahkan dari soal konkrit didepan mata.
Belum lagi dampak psikologis yang dihasilkan, perkembangan mental dan emosi dari kecanduan ini yang jauh lebih dalam.

Taukah kawan, para inovator dunia digital lebih banyak memasukan anak-anaknya di sekolah tanpa smartphone utk menghindari dampak negatif kecanduan. Bahkan Justin Rosenstein, salah satu perancang Gchat dan penemu tombol “like” di Facebook, mengharamkan Snapchat untuk dirinya sendiri, menyebutnya serupa dengan heroin..

Benarkah serupa dengan heroin…?
Jika kita mau lebih terbuka, media sosial langsung ataupun tidak menciptakan impian-impian penggunanya.. Ada kebahagiaan imajenasi yang ditawarkan, kepalsuan diri dan kepopuleran..
Kita suka mengabadikan hal-hal di dunia maya ini. Bahkan bisa memunculkan karakter yang bukan diri sendiri, menjadi orang lain, dan menikmati karakter di media sosial ketimbang dunia nyata.. Lebih menyukai ‘terlihat bahagia’ ketimbang bahagia sesungguhnya,.. lebih percaya dengan opini pemerhati ketimbang keyakinan diri......  Hingga kehilangan diri..
Bukankah heroin juga berdampak kehilangan diri..?

Mungkin kita tak merasa sampai sejauh itu, toh masih jujur-jujur saja dalam mengabdikan atau memberikan informasi. Tak berpengaruh seberapa banyak "like" atau "viewer". Tapi sadarkah kita bahwa media ini telah meresap serpihan perhatian kita terus menerus, sehingga mempengaruhi cara berfikir dan bertindak tanpa kita sadari.. tak menyadari bahwa kita seperti daun yang terjatuh di aliran air… bergerak, tapi sejatinya diam. Karena yang bergerak itu adalah airnya..

Kawan.., banyak teknologi baru diciptakan untuk kemaslahatan manusia, tapi sepanjang sejarah kita juga menyaksikan banyak efek samping yang tidak dihendaki. Kendalikan dan kuasailah teknologi tanpa mengikis diri.., sehingga kita tetap menjadi manusia seutuhnya...